Muaara Enim – Kebocoran pipa minyak Pertamina di kawasan Lembak dan Belida Darat, Kabupaten Muara Enim, menjadi puncak kemarahan warga setempat yang kini resmi menggugat Pertamina sebesar Rp10 miliar.
Kebocoran ini mencemari kebun dan aliran sungai, merusak ekosistem yang menjadi sumber penghidupan utama warga. Melalui Barisan Masyarakat Gelumbang Raya Bersatu (BM-GRB), gugatan ini diajukan atas nama Sandi Anggara, pemilik kebun karet yang terdampak langsung.
Warga yang selama ini menggantungkan hidup dari aliran sungai turut merasakan dampak pencemaran. Kerusakan pada bagian hulu sungai memicu dampak berantai hingga ke bagian hilir, mengakibatkan tercemarnya sumber air yang selama ini digunakan untuk irigasi dan kebutuhan sehari-hari.
Flora dan fauna yang hidup di sepanjang aliran sungai, seperti tanaman air, anggrek, ikan, dan burung, turut mengalami kerusakan parah. “Sungai yang selama ini menjadi sumber penghidupan kami kini tercemar berat. Bukan hanya kami yang rugi, tapi juga alam dan ekosistem di sini,” keluh Heri, warga setempat yang kebunnya juga terdampak.
Selain kerugian ekonomi dari hilangnya hasil kebun, pencemaran ini juga dinilai sebagai kejahatan ekologis yang melanggar Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). UU tersebut menegaskan bahwa setiap bentuk pencemaran lingkungan wajib mendapat sanksi, baik administratif maupun hukum, serta perusahaan wajib melakukan pemulihan terhadap lingkungan yang rusak.
Selain ganti rugi materil sebesar Rp10 miliar, warga diketahui juga menuntut: Ganti rugi atas kerusakan lahan kebun, yang menyebabkan hilangnya pendapatan mingguan dari hasil karet; Pemulihan ekosistem sungai, termasuk pengangkatan limbah minyak di sepanjang aliran sungai yang tercemar; dan Normalisasi flora dan fauna lokal, terutama ekosistemn yang terdampak.
Perwakilan BRMGB, Pani, menyebutkan bahwa gugatan Rp10 miliar ini adalah langkah awal. “Ini baru gugatan pertama. Selama puluhan tahun, kami dijajah oleh Pertamina,” tegasnya.
Sementara itu, pengacara yang ditunjuk untuk menggugat Pertamina, Anto Astari, SH, memastikan kesiapannya melawan korporasi besar tersebut. “Kami sudah menyusun somasi. Ini bukan sekadar kerugian material, ini soal hak dan kehormatan warga. Kami siap melawan Pertamina di pengadilan,” ujar Anto.
Di sisi lain, Anto yang mewakili warga juga berharap tanggung jawab penuh dari pihak terkait untuk melakukan perbaikan lingkungan dengan segera. Pihaknya tidak akan menghalangi upaya tersebut, kendati harus ada tanggung jawab yang dibuktikan secara tertulis.
Mengingat selama ini, korporasi kerap mengumbar janji kepada masyarakat, tidak hanya dari sisi tanggung jawab materil, maupun non materil. “Apa yang dilakukan oleh perusahaan ini merupakan contoh yang tidak baik. Kami berharap ada hitam di atas putih, perjanjian terlebih dulu kepada masyarakat, agar ada jaminan,” ungkapnya.
Anto juga menyayangkan dalam beberapa kali kejadian sebelum ini, kerap terjadi upaya intimidatif yang dilakukan oleh perusahaan, agar permasalahan ini tidak menyebar ke publik. Padahal yang merasakan dampaknya adalah masyarakat sekitar yang telah puluhan tahun menjadi korban kerusakan lingkungan dan dugaan kejahatan ekologis oleh Pertamina.
“Kami tidak menghalangi pemulihan lingkungan, masyarakat harus tahu dulu siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya mata pencaharian ini. Bila perlu, ketika sudah ada yang bertanggung jawab, kita sama-sama melakukan pemulihan lingkungan,” ujarnya.
Terpisah, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel, Hendriansyah mengatakan, akan meneruskan protes warga ke Ditjen Migas dan SKK Migas untuk ditindaklanjuti. “Sebab, Sektor Migas merupakan kewenangan pemerintah pusat,” katanya singkat.
Kasus ini kembali mempertegas kelalaian Pertamina dalam mengelola infrastruktur dan pengawasan, yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan kehidupan warga setempat. Pencemaran yang terjadi bukan hanya merugikan ekonomi warga, tetapi juga merusak ekosistem yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat di sepanjang aliran sungai